Macaca fascicularis

Status dan Keberadaan

Hingga saat ini diperkirakan ada 253 jenis primata di dunia yang kebanyakan hidup di kawasan hutan hujan tropis. Dari jumlah tersebut, 41 spesies dan subspesies primata terdapat di Indonesia, mulai dari Orang Utan (Pongo pygmeus) di Sumatera bagian Utara dan Kalimantan hingga yang terkecil yaitu Tangkasi (Tarsius pumilus) di Sulawesi. Dari jumlah itu, 24 di antaranya merupakan jenis endemik yakni hanya ditemukan hidup di wilayah tertentu di Indonesia saja.

Salah satu primata yang cukup populer dikalangan masyarakat, dari anak-anak hingga orang tua adalah kera ekor panjang (Macaca fascicularis) alias monyet. Dengan tingkahnya yang atraktif dan menghibur, tak heran jika primata ini sering menjadi binatang hiburan keliling dari kampung ke kampung melalui pertunjukan “topeng monyet”. Pertunjukan yang hampir selalu mampu menyedot kerumunan orang setiap kali dimainkan. Aksi-aksi yang dapat membuat orang berdecak kagum, merubah tangis menjadi tawa dan menyulap amarah menjadi senyuman.

Populasinya M. fascicularis banyak terdapat di kawasan Asia Tenggara, mulai dari Myanmar, Indochina, Malaysia dan Indonesia. Bahkan juga ditemukan di pulau Timor. Penyebarannya di Indonesia mencakup sebagian besar wilayah Indonesia mulai dari Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara sampai Flores.

M. fascicularis merupakan salah satu satwa liar yang statusnya hingga saat ini masih belum terdaftar sebagai spesies yang dilindungi. Namun demikian usaha-usaha untuk menjaga populasinya di alam harus tetap dilakukan. Karena tekanan terhadap populasi kera ini kian hari kian menunjukkan gejala yang mengkhawatirkan dan terus mengalami penurunan.

Deskripsi Fisik, Perilaku dan Makanan

M. fascicularis termasuk sub suku Cercophitecinae atau Cheek Pounch Monkey atau monyet dengan kantung pipi. Terdapat 11 jenis dalam suku ini di Indonesia. Jenis yang paling mirip adalah beruk (Macaca nemestrina).

Panjang tubuh kera dewasa sekitar 40-50 cm belum termasuk ekor dengan berat 3 -7 kg. Sementara panjang ekor 1 hingga 1,5 kali panjang tubuh berikut kepala dengan warna coklat keabu-abuan atau kemerah-merahan. Bulunya berwarna coklat abu-abu hingga coklat kemerahan sedangkan wajahnya berwarna abu-abu kecoklatan dengan jambang di pipi berwarna abu-abu, terkadang terdapat jambul di atas kepala. Hidungnya datar dengan ujung hidung menyempit. Kera ini memiliki gigi seri berbentuk sekop, gigi taring dan geraham untuk mengunyah makanan

Kera ini merupakan jenis satwa yang hidup berkelompok, dimana bisa mencapai hingga 30 ekor dalam tiap kelompok. Biasanya dalam setiap kelompok ada seekor adult male (jantan dewasa) yang menjadi pemimpin dan mendominasi anggota yang lain. Hirarki dalam komunitasnya ditentukan oleh beberapa faktor seperti usia, ukuran tubuh dan keahlian berkelahi. Mereka memasuki masa kawin pada umur enam tahun untuk pejantan dan empat tahun untuk betina. Jangan harap ada kesetiaan dalam komunitas ini. Karena pejantan biasanya kawin dengan banyak betina.

Sebagai golongan omnivora yang memakan daging dan tumbuhan. Makanannya bervariasi dari buah-buahan, daun, bunga, jamur, serangga, siput, rumput muda, dan lain sebagainya. Bahkan kera ini kerap pula memakan kepiting. Tetapi, 96 % konsumsi makanan mereka adalah buah-buahan.
Manfaat

Selain diburu untuk diambil dagingnya dan dijadikan makanan siapa saji, M. fascicularis juga sering dimanfaatkan untuk keperluan penelitian medis, terutama penelitian vaksin polio, riset biomedik dan psikologis. Kera ekor panjang adalah salah satu dari lima kera yang kerap digunakan sebagai binatang percobaan.

Selain itu jenis primata idola ini seringkali dijadikan sebagai pet animal (binatang peliharaan). Tak heran jika permintaan pasar ekspor bagi jenis primata ini sangat menjanjikan keuntungan yang besar, sehingga perburuan secara besar-besaran menghantui keberadaan satwa ini.

Tekanan terhadap Populasi

Selain makin menyempitnya habitat, tekanan terhadap populasinya disebabkan juga oleh perburuan liar. Ini dikarenakan tingginya permintaan pasar baik dalam maupun luar negeri terhadap satwa ini. Banyaknya manfaat dari satwa ini dan besarnya keuntungan yang diperoleh dari perburuanm satwa ini, membuat para sindikat perdagangan satwa liar kerap menjadikannya sebagai komoditas andalan.

Dalam sebuah situs internet pada tahun 2001, terungkap bahwa ribuan primata tersebut dibantai tiap tahun di Lampung untuk makanan siap saji. Kebanyakan dari primata tersebut diburu secara liar untuk diambil dagingnya. Daging primata hasil pembantaian itu dijual seharga Rp 10 ribu per kg.

Peraturan Pemanfaatan

Sesungguhnya pemanfaatan M. fascicularis khususnya untuk pasar ekspor telah diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 26/Kpts-II/94 tanggal 20 Januari 1994 tentang Pemanfaatan Jenis Kera Ekor Panjang (Macaca Fascicularis), Beruk (Macaca Nemestrina) dan Ikan Arowana (Scleropagus Formosus) untuk Keperluan Ekspor.

Dalam keputusan tersebut ditetapkan bahwa pemanfaatan jenis M. fascicularis untuk keperluan eksport harus berasal dari hasil penangkaran. Para eksportir diwajibkan untuk melakukan usaha penangkaran sendiri, sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dimana jumlah satwa yang dapat diekspor oleh para eksportir telah mendapatkan izin, berdasarkan quota ekspor yang ditetapkan oleh Departemen Kehutanan dan penetapan quota ekspor telah diperiksa/ dinilai oleh Tim Akreditasi berdasarkan hasil penangkaran.

Penangkaran untuk Pasar Ekspor

Dengan adanya Keputusan Menteri tersebut maka diperlukan upaya pengembangan dan pengawasan sistem penangkaran primata yang baik. Sistem captive breeding’s (penangkaran tertutup) adalah konsep yang lebih tepat dan lebih menjamin pelaksanaan konservasi primata dibandingkan penangkaran di alam terbuka. Karena pengawasannya mudah dan lebih menjamin kualitas untuk kepentingan biomedis. Selain itu dapat mengurangi timbulnya manipulasi serta dapat mencegah overlaping ecologies.

Pengawasan ketat terhadap para eksportir kera juga terus dilakukan agar tidak ada lagi kera Indonesia yang diekspor/ dikonsumsi secara tradisional dengan cara-cara yang mengenaskan. Juga tidak ada lagi kisah-kisah penyiksaan kera yang menyedihkan sejak proses penangkapan hingga perjalanan ekspor dengan packing yang buruk sehingga banyak menimbulkan kematian akibat kelaparan, suhu udara dan stres.

Pangsa pasar ekspor bagi kera Indonesia memang cukup menggiurkan. Di Amerika saja Indonesia termasuk 3 negara eksportir kera yang terbesar bersama-sama dengan Filiphina dan Mauritius. Tetapi nilai-nilai ekomoralitas tentu harus lebih diutamakan ketimbang hanya sekedar bersikap sebagai profitur (pencari keuntungan) dengan berdagang kera, yang pada kenyataannya justru banyak menimbulkan kerugian ekosistem nasional yang nilainya jauh lebih besar ketimbang devisa yang masuk.

sumber : http://arirakatama.multiply.com/journal/item/4

~ by serigalamalam on 17 July 2010.

Leave a comment